Kehadiran perhutanan sosial adalah sebuah solusi dalam menyelesaikan masalah kehutanan di Indonesia, sebagai solusi antara masyarakat dan pemerintah.
Hari menjelang petang, lampu-lampu mulai dinyalakan. Di sebuah rumah warga di Desa Sasakan, Kecamatan Sumarorong, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, diskusi masih berlangsung. Hari itu, warga curhat terkait semakin susahnya mereka masuk dalam kawasan hutan, tempat di mana mereka berkebun sejak beberapa generasi terdahulu.
Sore itu adalah pertemuan yang digagas oleh Yayasan Roman Celebes (YRC) bersama Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Wilayah Sulawesi, difasilitasi Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Mamasa Tengah, Kabupaten Mamasa, pada pertengahan Agustus 2023 silam.
Di awal pertemuan, warga terlihat ragu menyampaikan keluhannya. Apalagi di depan mereka juga duduk polisi hutan dari KPH Mamasa Tengah. Pihak yang dianggap bertanggung jawab menutup akses mereka ke dalam hutan. Apalagi beberapa tahun sebelumnya ada yang melaporkan mereka sebagai penggarap ilegal di kawasan hutan.
Tak banyak yang bisa mereka lakukan selain berharap ada solusi dari pemerintah atas nasib mereka. Bantuan tak bisa mereka terima karena dianggap sebagai petani ilegal karena berkebun di kawasan hutan negara.
“Kita susah dapat bantuan untuk pertanian, apalagi pupuk susah diperoleh,” tambah Surono.Selain diskusi dengan masyarakat lokal, tim juga berdiskusi dengan perwakilan masyarakat adat di Kabupaten Mamasa, yang diwakili oleh Semuel Toding, Sekretaris Aliansi Masyarakat adat Nasional (AMAN) Kondo Sapata Wai Sapalelean, Kabupaten Mamasa.Semuel menjelaskan bahwa Pemerintah Daerah Mamasa, Sulawesi Barat, telah mengesahkan peraturan daerah tentang masyarakat adat pada tahun 2021 silam melalui Perda No.10/2021.
Keberadaan perda ini dinilai penting karena menjadi syarat pengakuan masyarakat adat dan hutan adat sebagai salah satu skema perhutanan sosial.
Menurut Semuel, meski secara de facto masyarakat eksis dengan adanya sejarah, kelembagaan, tradisi dan wilayah adat, namun ketiadaan perda pengakuan menjadi tantangan tersendiri.
“Sebelum adanya perda ini hutan adat sulit diusulkan karena terkendala pada ketiadaan perda, sehingga di awal itu kami kemudian fokus ke HKm,” ungkap Semuel.
Dikatakan Semuel bahwa saat ini terdata sekitar 33 komunitas adat yang telah terdaftar di AMAN, meski belum memiliki ketetapan hukum dari pemerintah.
Semuel berharap setelah adanya perda ini pengusulan hutan adat bisa segera dilakukan sebagai sebuah solusi konflik masyarakat adat, baik dengan Taman Nasional Gandang Dewata maupun dengan perusahaan, yaitu PT. Kencana Hijau Bina Lestari (KHBL) yang sebagian wilayah konsesinya beririsan dengan wilayah adat beberapa komunitas.
Semuel juga berharap ada upaya fasilitasi dari pemerintah agar konflik saling klaim antara masyarakat adat dengan perusahaan bisa diselesaikan, khususnya pada 7 komunitas adat yang berada dalam wilayah kerja KPH Mamasa Tengah.
Perhutanan Sosial sebagai Solusi
Sukma Taroniarta, Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Madya dari BPSKL Wilayah Sulawesi menyatakan adanya solusi untuk menyelesaikan persoalan warga dengan kawasan hutan, yaitu melalui perhutanan sosial.
Perhutanan sosial sendiri adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial budaya.
Dalam Permen LHK Nomor 83 Tahun 2016 dikatakan bahwa perhutanan sosial bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan tenurial dan keadilan bagi masyarakat setempat dan masyarakat hukum adat yang berada di dalam atau sekitar kawasan hutan dalam rangka kesejahteraan masyarakat.
Perhutanan sosial memiliki sejumlah skema pengelolaan, meliputi Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA) dan Kemitraan Kehutanan (KK).
Sukma menyatakan pentingnya masyarakat desa untuk mendapatkan legalitas pengelolaan hutan di kawasan hutan negara melalui berbagai skema perhutanan sosial yang ada.
“Karena berkebun di kawasan hutan negara maka bapak-bapak harus legal atau resmi supaya bisa tenang bekerja dan tidak dikejar-kejar polhut, meskipun sekarang hal seperti itu sudah tak ada lagi. Sekarang maunya pemerintah agar hutan tetap terjaga dan warga tetap bisa bekerja dan penghidupan bisa lebih bagus,” katanya.
Menurutnya, di kawasan hutan memang masih banyak warga yang bertani namun hasilnya tidak maksimal karena kebutuhan bibit dan pupuk terbatas, karena statusnya terhitung ilegal, sehingga pemerintah ataupun pihak lainnya takut untuk memberikan bantuan kalau posisinya belum resmi.
“Kalau sudah resmi nanti bisa dibantu dicarikan penadah hasil bumi dan bantuan-bantuan bibit, kalau sudah legal maka pemerintah tidak ragu untuk kasih bantuan. Memang susah dibantu kalau tidak resmi, sehingga kita mau bantu agar resmi nanti difasilitasi agar bisa cepat diloloskan.”
Awaluddin, Direktur Yayasan Romang Celebes (YRC), tak menafikan tingginya ketergantungan masyarakat akan kawasan hutan dan telah secara turun temurun menggarap lahan di dalam kawasan, sehingga kehadiran perhutanan sosial menjadi sangat tepat sebagai solusi konflik.
Dalam regulasi terbaru Permenhut No.9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial dikatakan bahwa masyarakat dapat mengusulkan suatu areal tertentu untuk mendapatkan persetujuan pengelolaan perhutanan sosial kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dalam prosesnya masyarakat tidak akan bekerja sendiri, namun butuh dukungan.
“Tentu perlu ada pendampingan untuk mengusulkan skema perhutanan sosial ini karena terdapat persyaratan yang harus dipenuhi oleh kelompok masyarakat, termasuk memberikan pemahaman kepada mereka terkait hak dan kewajiban mereka nantinya.”
Menurut Awaluddin, kehadiran perhutanan sosial adalah sebuah solusi dalam menyelesaikan masalah kehutanan di Indonesia, sebagai solusi antara masyarakat dan pemerintah.
“Pemerintah memahami adanya ketergantungan masyarakat terhadap hutan sejak dulu, sehingga pemerintah memberikan solusi agar aktivitas di dalamnya tetap legal, dan masyarakat merasa nyaman dalam mengelola kebun atau tanaman-tanaman yang memang berada di dalam kawasan hutan.”